Friday, May 6, 2011

Sindroma Nefrotik


DEFINISI


Sindroma Nefrotik adalah suatu sindroma (kumpulan gejala-gejala) yang terjadi akibat berbagai penyakit yang menyerang ginjal dan menyebabkan:


- proteinuria (protein di dalam air kemih)


- menurunnya kadar albumin dalam darah


- penimbunan garam dan air yang berlebihan


- meningkatnya kadar lemak dalam darah.



Sindroma ini bisa terjadi pada segala usia.


Pada anak-anak, paling sering timbul pada usia 18 bulan sampai 4 tahun, dan lebih banyak menyerang anak laki-laki.


PENYEBAB


Sindroma nefrotik bisa terjadi akibat berbagai glomerulopati atau penyakit menahun yang luas.


Sejumlah obat-obatan yang merupakan racun bagi ginjal juga bisa menyebabkan sindroma nefrotik, demikian juga halnya dengan pemakaian heroin intravena.



Sindroma nefrotik bisa berhubungan dengan kepekaan tertentu.


Beberapa jenis sindroma nefrotik sifatnya diturunkan.



Sindroma nefrotik yang berhubungan dengan infeksi HIV (human immunodeficiency virus, penyebab AIDS) paling banyak terjadi pada orang kulit hitam yang menderita infeksi ini.


Sindroma nefrotik berkembang menjadi gagal ginjal total dalam waktu 3-4 bulan.



Penyebab sindroma nefrotik:


# Penyakit


- Amiloidosis


- Kanker


- Diabetes


- Glomerulopati


- Infeksi HIV


- Leukemia


- Limfoma


- Gamopati monoklonal


- Mieloma multipel


- Lupus eritematosus sistemik


# Obat-obatan


- Obat pereda nyeri yang menyerupai aspirin


- Senyawa emas


- Heroin intravena


- Penisilamin


# Alergi


- Gigitan serangga


- Racun pohon ivy


- Racun pohon ek


- Cahaya matahari.



GEJALA



Gejala awalnya bisa berupa:


- berkurangnya nafsu makan


- pembengkakan kelopak mata


- nyer perut


- pengkisutan otot


- pembengkakan jaringan akibat penimbunan garam dan air


- air kemih berbusa.



Perut bisa membengkak karena terjadi penimbunan cairan dan sesak nafas bisa timbul akibat adanya cairan di rongga sekitar paru-paru (efusi pleura).



Gejala lainnya adalah pembengkakan lutut dan kantung zakar (pada pria).


Pembengkakan yang terjadi seringkali berpindah-pindah; pada pagi hari cairan tertimbun di kelopak mata dan setalah berjalan cairan akan tertimbun di pergelangan kaki.


Pengkisutan otot bisa tertutupi oleh pembengkakan.



Pada anak-anak bisa terjadi penurunan tekanan darah pada saat penderita berdiri dan tekanan darah yang rendah (yang bisa menyebabkan syok).


Tekanan darah pada penderita dewasa bisa rendah, normal ataupun tinggi.



Produksi air kemih bisa berkurang dan bisa terjadi gagal ginjal karena rendahnya volume darah dan berkurangnya aliran darah ke ginjal.


Kadang gagal ginjal disertai penurunan pembentukan air kemih terjadi secara tiba-tiba.



Kekurangan gizi bisa terjadi akibat hilangnya zat-zat gizi (misalnya glukosa) ke dalam air kemih.


Pertumbuhan anak-anak bisa terhambat. Kalsium akan diserap dari tulang. Rambut dan kuku menjadi rapuh dan bisa terjadi kerontokan rambut. Pada kuku jari tangan akan terbentuk garis horisontal putih yang penyebabnya tidak diketahui.



Lapisan perut bisa mengalami peradangan (peritonitis).


Sering terjadi infeksi oportunistik (infeksi akibat bakteri yang dalam keadaan normal tidak berbahaya).


Tingginya angka kejadian infeksi diduga terjadi akibat hilangnya antibodi ke dalam air kemih atau karena berkurangnya pembentukan antibodi.



Terjadi kelainan pembekuan darah, yang akan meningkatkan resiko terbentuknya bekuan di dalam pembuluh darah (trombosis), terutama di dalam vena ginjal yang utama.


Di lain fihak, darah bisa tidak membeku dan menyebabkan perdarahan hebat.



Tekanan darah tinggi disertai komplikasi pada jantung dan otak paling mungkin terjadi pada penderita yang memiliki diabetes dan penyakit jaringan ikat.



DIAGNOSA



Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan laboratorium.



Pemeriksaan laboratorium terhadap air kemih menunjukkan kadar protein yang tinggi.


Konsentrasi albumin dalam darah adalah rendah karena protein vital ini dibuang melalui air kemih dan pembentukannya terganggu.


Kadar natrium dalam air kemih adalah rendah dan kadar kalium dalam air kemih adalah tinggi.



Konsentrasi lemak dalam darah adalah tinggi, kadang sampai 10 kali konsentrasi normal. Kadar lemak dalam air kemih juga tinggi.


Bisa terjadi anemia. Faktor pembekuan darah bisa menurun atau meningkat.



Analisa air kemih dan darah bisa menunjukkan penyebabnya.


Jika penderita mengalami penurunan berat badan atau usianya lanjut, maka dicari kemungkinan adanya kanker.


Biopsi ginjal terutama efektif dalam mengelompokkan kerusakan jaringan ginjal yang khas.



PENGOBATAN



Tujuan pengobatan adalah untuk mengatasi penyebabnya.


Mengobati infeksi penyebab sindroma nefrotik bisa menyembuhkan sindroma ini.



Jika penyebabnya adalah penyakit yang dapat diobati (misalnya penyakit Hodgkin atau kanker lainnya), maka mengobatinya akan mengurangi gejala-gejala ginjal.



Jika penyebabnya adalah kecanduan heroin, maka menghentikan pemakaian heroin pada stadium awal sindroma nefrotik, bisa menghilangkan gejala-gejalanya.



Penderita yang peka terhadap cahaya matahari, racun pohon ek, racun pohon ivy atau gigitan serangga; sebaiknya menghindari bahan-bahan tersebut.


Desensitisasi bisa menyembuhkan sindroma nefrotik akibat racun pohon ek, pohon ivy atau gigitan serangga.



Jika penyebabnya adalah obat-obatan, maka untuk mengatasi sindroma nefrotik, pemakaian obat harus dihentikan.



Jika tidak ditemukan penyebab yang pasti, maka diberikan kortikosteroid dan obat-obatan yang menekan sistem kekebalan (misalnya siklofosfamid).


Tetapi obat tersebut bisa menyebabkan terhambatnya pertumbuhan pada anak-anak dan menekan perkembangan seksual.



Pengobatan yang umum adalah diet yang mengandung protein dan kalium dalam jumlah yang normal dengan lemak jenuh dan natrium yang rendah.


Terlalu banyak protein akan meningkatkan kadar protein dalam air kemih.


ACE inhibitors (misalnya enalapril, captopril dan lisinopril) biasanya menurunkan pembuangan protein dalam air kemih dan menurunkan konsentrasi lemak dalam darah.


Tetapi pada penderita yang memiliki kelainan fungsi ginjal yang ringan sampai berat, obat tersebut dapat meningkatkan kadar kalium darah.



Jika cairan tertimbun di perut, untuk mengurangi gejala dianjurkan untuk makan dalam porsi kecil tetapi sering.



Tekanan darah tinggi biasanya diatasi dengan diuretik.


Diuretik juga dapat mengurangi penimbunan cairan dan pembengkakan jaringan, tetapi bisa meningkatkan resiko terbentuknya bekuan darah.



Antikoagulan bisa membantu mengendalikan pembentukan bekuan darah.




PROGNOSIS



Prognosisnya bervariasi, tergantung kepada penyebab, usia penderita dan jenis kerusakan ginjal yang bisa diketahui dari pemeriksaan mikroskopik pada biopsi.


Gejalanya akan hilang seluruhnya jika penyebabnya adalah penyakit yang dapat diobati (misalnya infeksi atau kanker) atau obat-obatan.



Prognosis biasanya baik jika penyebabnya memberikan respon yang baik terhadap kortikosteroid.


Anak-anak yang lahir dengan sindroma ini jarang yang bertahan hidup sampai usia 1 tahun, beberapa diantaranya bisa bertahan setelah menjalani dialisa atau pencangkokan ginjal.



Prognosis yang paling baik ditemukan pada sindroma nefrotik akibat glomerulonefritis yang ringan; 90% penderita anak-anak dan dewasa memberikan respon yang baik terhadap pengobatan.


Jarang yang berkembang menjadi gagal ginjal, meskipun cenderung bersifat kambuhan. Tetapi setelah 1 tahun bebas gejala, jarang terjadi kekambuhan.



Sindroma nefrotik akibat glomerulonefritis membranosa terutama terjadi pada dewasa dan pada 50% penderita yang berusia diatas 15 tahun, penyakit ini secara perlahan akan berkembang menjadi gagal ginjal.


50% penderita lainnya mengalami kesembuhan atau memiliki proteinuria menetap tetapi dengan fungsi ginjal yang adekuat.


Pada anak-anak dengan glomerulonefritis membranosa, proteinuria akan hilang secara total dan spontan dalam waktu 5 tahun setelah penyakitnya terdiagnosis.



Sindroma nefrotik familial dan glomerulonefritis membranoproliferatif memberikan respon yang buruk terhadap pengobatan dan prognosisnya tidak terlalu baik.


Lebih dari separuh penderita sindroma nefrotik familial meninggal dalam waktu 10 tahun. Pada 20% pendeita prognosisnya lebih buruk, yaitu terjadi gagal ginjal yang berat dalam waktu 2 tahun.


Pada 50% penderita, glomerulonefritis membranoproliferatif berkembang menjadi gagal ginjal dalam waktu 10 tahun. Pada kurang dari 5% penderita, penyakit ini menunjukkan perbaikan.



Sindroma nefrotik akibat glomerulonefritis proliferatif mesangial sama sekali tidak memberikan respon terhadap kortikosteroid.



Pengobatan pada sindroma nefrotik akibat lupus eritematosus sistemik, amiloidosis atau kencing manis, terutama ditujukan untuk mengurangi gejalanya.


Pengobatan terbaru untuk lupus bisa mengurangi gejala dan memperbaiki hasil pemeriksaan yang abnormal, tetapi pada sebagian besar penderita terjadi gagal ginjal yang progresif.


Pada penderita kencing manis, penyakit ginjal yang berat biasanya akan timbul dalam waktu 3-5 tahun.



Prognosis pada sindroma nefrotik akibat infeksi, alergi maupun pemakaian heroin intravena bervariasi, tergantung kepada seberapa cepat dan seberapa efektif penyebabnya diatasi.


http://www.medicastore.com/med/detail_pyk.php?idktg=9&judul=Sindroma%20Nefrotik%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20%20&iddtl=719&UID=20080304162820125.163.203.112




ndroma Nefrotik


Category: Article


Sindroma Neprotik Adalah Penyakit Ginjal Yang Mengenai Glomerulus (ginjal Terdiri Dari Tubulus, Glomerulus Dll.) Dan Ditandai Proteinuria (keluarnya Protein Melalui Air Kencing) Yang Masif, Hipoalbuminemia (kadar Albumin Di Dalam Darah Turun), Edema (bengkak) Disertai Hiperlipid Emia (kadar Lipid Atau Lemak Dalam Darah Meningkat) Dan Hiperkolesterolemia (kadar Kolesterol Darah Meningkat) Jadi Untuk Memastikannya Perlu Pemeriksaan Laboratorium.



Sindroma Nefrotik



Sindroma neprotik adalah penyakit ginjal yang mengenai glomerulus (ginjal terdiri dari tubulus, glomerulus dll.) dan ditandai proteinuria (keluarnya protein melalui air kencing) yang masif, hipoalbuminemia (kadar albumin di dalam darah turun), edema (bengkak) disertai hiperlipid emia (kadar lipid atau lemak dalam darah meningkat) dan hiperkolesterolemia (kadar kolesterol darah meningkat) jadi untuk memastikannya perlu pemeriksaan laboratorium. Sindroma nefrotik biasanya menyerang anak laki-laki lebih sering dari pada anak perempuan dengan perbandigan 2 berbanding 1 dan paling banyak pada umur 2 sampai 6 tahun.



Menurut pembagian berdasarkan etiologi (penyebab) dibagi menjadi :



a. Sindroma nefrotik primer yang 90% disebut Sindroma nefrorik Idiopatik, diduga ada hubungan dengan genetik, imunoligik dan alergi.


b. Sindroma nefrotik sekunder yang penyebabnya berasal dari ekstra renal (=diluar ginjal)



Bengkak di badan sebabnya bisa bermacam-macam, antara lain:


a. penyakit jantung


b. penyakit liver


c. penyakit ginjal


d. alergi


e. busung lapar



Untuk memastikannya perlu ditelusuri:


a. Anam nesa (= riwayat penyakit)


b. Pemeriksaan fisik diagnostik


c. Pemeriksaan penunjang (laboratorium, rontgen, biospsi dll)


Jadi perlu pemeriksaan yang teliti dan lengkap.



Penanggulangan


sebaiknya penderita dirawat untuk evaluasi diagnostik dan rencana terapi.


Karena pengobatannya meliputi



a. Dietetik


- Rendah garam


- Protein sesuai kebutuhan


- Kalori berasal dari lemak kurang dari 35%



b. Diuretik (untuk mengeluarkan cairan sehingga kencing jadi banyak) dan albumin diberikan bila kadar albumin darah sangat rendah.



c. Kortikosterroid (prednison / prednisolon)


Tahap I selama 4 minggu diberikan tiap hari sehari tiga kali.


Tahap II selama 4 minggu diberikan selang sehari, sehari sekali.


Tahap III selama 4 minggu dosis obat bertahap dikurangi sampai stop.



Apakah bisa sembuh?


Prognosis tergantung dari penyebab, berat penyakit, umur dan penanggulangannya. Penyakit yang paling sering adalah infeksi karena pemakaian kortikosteroid dosis tinggi dan lama menurunkan daya tahan tubuh sehingga memudahkan terjadinya infeksi juga bisa timbul trombosis (penyumbatan darah) dan gagal ginjal akut.


(Sumber: www.pikiran-rakyat.com)




http://www.ikcc.or.id


http://www.ikcc.or.id/print.php?id=134



Jumat, Januari 25, 2008


Sindroma Nefrotik



Editor : Yayan Akhyar Israr, S.Ked. Fakultas Kedokteran Universitas Riau. RSUD Arifin Achmad Pekanbaru – Provinsi Riau




I. Pendahuluan



Sindroma nefrotik (SN) merupakan penyakit yang sering ditemukan di Indonesia. Angka kejadian SN pada anak tidak diketahui pasti, namun diperkirakan pada anak berusia dibawah 16 tahun berkisar antara 2 sampai 7 kasus per tahun pada setiap 1.000.000 anak 1. Sindroma nefrotik tanpa disertai kelainan kelainan sistemik disebut SN primer, ditemukan pada 90% kasus SN anak 1,2,3. Berdasarkan kelainan histopatologis, SN pada anak yang paling banyak ditemukan adalah jenis kelainan minimal. International Study Kidney Disease in Children (ISKDC) melaporkan 76% SN pada anak adalah kelainan minimal 1,2. Apabila penyakit SN ini timbul sebagai bagian dari penyakit sistemik dan berhubungan dengan obat atau toksin maka disebut sindroma nefrotik sekunder. Insiden sindroma nefrotik primer ini 2 kasus per tahun tiap 100.000 anak berumur kurang dari 16 tahun, dengan angka prevalensi kumulatif 16 tiap 100.000 anak kurang dari 14 tahun. Rasio antara laki-laki dan perempuan pada anak sekitar 2:1. Laporan dari luar negeri menunjukkan dua pertiga kasus anak dengan SN dijumpai pada umur kurang dari lima tahun 3.



Pasien SN primer secara klinis dapat dibagi dalam tiga kelompok, yaitu 3:



1. Kongenital


2. Responsif steroid


3. Resisten steroid



Bentuk kongenital ditemukan sejak lahir atau segera sesudahnya. Umumnya kasus-kasus ini adalah SN tipe Finlandia, suatu penyakit yang diturunkan secara resesif autosom. Kelompok responsif steroid sebagian besar terdiri atas anak-anak dengan SN kelainan minimal (SNKM). Pada penelitian di Jakarta diantara 364 pasien SN yang dibiopsi 44,2% menunjukkan kelainan minimal. Kelompok tidak responsif steroid atau resisten steroid terdiri atas anak-anak dengan kelainan glomerulus lain. Sindroma nefrotik dapat timbul dan bersifat sementara pada tiap penyakit glomerulus dengan keluarnya protein dalam jumlah yang banyak dan cukup lama 3.




II. Defenisi



Sindroma nefrotik adalah sutau sindroma klinik dengan gejala 1,2,3,4:



1. Proteinuria masif (≥ 40 mg/m2 LPB/jam atau rasio protein/kreatinin pada urin sewaktu > 2 mg/dl atau dipstik ≥2+)


2. Hipoalbuminemia ≤ 2,5 gr/dl


3. Edema


4. Dapat disertai hiperkolesterolemia



III. Etiologi



Sebab yang pasti dari SN ini belum diketahui, akhir-akhir ini dianggap sebagai suatu penyakit autoimun. Jadi merupakan suatu reaksi antigen antibodi. Umumnya para ahli membagi etiologinya menjadi 4:



1. Sindroma nefrotik bawaan



Diturunkan secara resesif autosomal atau karena reaksi maternofetal. Resisten terhadap semua pengobatan, gejalanya adalah edema pada masa neonatus. Prognosisnya buruk dan biasanya penderita meninggal dalam bulan-bulan pertama kehidupannya 4.



2. Sindroma nefrotik sekunder



Sindroma nefrotik yang dapat disebabkan oleh 4:



a. Malaria kuartana atau parasit lain



b. Penyakit kolagen seperti lupus eritematosus diseminata, purpura anafilaktoid



c. Glomerulonefritis akut atau glomerulonefritis kronis dan trombosis vena renalis.



d. Bahan kimia seperti trimetadion, paradion, penisilamin, garam emas, sengatan lebah, air raksa.



e. Amiloidosis, penyakit sel sabit, hiperprolinemia, nefritis membranoproliferatif hipokomplementemik.



3. Sindroma Nefrotik Idiopatik



Berdasarkan kelainan histopatolois yang tampak pada biopsi ginjal dengan mikroskop biasa dan mikroskop elektron, Churg membagi dalam 4 golongan yaitu 4:



1. Kelainan minimal


2. Nefropati membranosa


3. Glomerulonefritis proliferatif


4. Glomerulosklerosis fokal segmental



IV Patofisiologi



Kelainan patogenetik yang mendasari SN adalah proteinuria, akibat dari kenaikan permiabilitas dinding kapiler glomerulus. Mekanisme dari kenaikan permiabilitas ini belum diketahui tetapi mungkin terkait, setidak-tidaknya sebagian dengan hilangnya muatan negatif glikoprotein dalam dinding kapiler. Pada status SN, protein yang hilang biasanya melebihi 2 gram per 24 jam dan terutama terdiri dari albumin. Hipoproteinemianya pada dasarnya adalah hipoalbuminemia. Umumnya edema muncul bila kadar albumin serum turun dibawah 2,5 gr/dl (25 gr/L) 3,5.



Mekanisme pembentukan edema pada SN tidak dimengerti sepenuhnya. Kemungkinannya adalah bahwa edema didahului oleh timbulnya hipoalbuminemia, akibat kehilangan protein urin. Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik plasma, yang memungkinkan transudasi cairan dari ruang intravaskuler ke ruang interstisial. Penurunan volume intravaskuler menurunkan tekanan perfusi ginjal, mengaktifklan sistim renin angiotensin aldosteron, yang merangsang absorsi natrium di tubulus dsital. Penurunan volume intravaskuler juga merangsang pelepasan hormon antidiuretik, yang mempertinggi reabsorbsi air dalam duktus kolektivus. Karena tekanan onkotik plasma berkurang, natrium dan air yang telah direabsorbsi masuk ke ruang interstisial, memperberat edema. Adanya faktor-faktor lain yang juga memainkan peran pada pembentukan edema dapat ditunjukkan melalui observasi bahwa beberapa penderita sindroma nefrotik mempunyai volume intravaskuler yang normal atau meningkat, dan kadar renin serta aldosteron plasma normal atau menurun. Penjelasan secara hipotesis meliputi defek intra renal dalam eksresi natrium dan air atau adanya agen dalam sirkulasi yang menaikkan permiabilitas dinding kapiler di seluruh tubuh serta di dalam ginjal 5.



Pada SN hampir semua kadar lemak (koleterol dan trigliserida) dan lipoprotein serum meningkat. Sekurang-kurangnya ada dua faktor yang memberikan sebagian penjelasan yaitu 5:



1. Hipoproteinemia merangsang sintesis protein menyeluruh di dalam hati, termasuk lipoprotein.


2. Katabolisme lemak menurun, karena penurunan kadar lipoprotein lipase plasma, sistim enzim utama yang mengambil lemak dari plasma. Ada ahli yang menyatakan lipoprotein lipase keluar melalui urin, tetapi belum ada kepastian.



V Manifestasi Klinik



Edema merupakan gejala klinis yang menonjol, edema umumnya terlihat pada kedua kelopak mata, edema minimal terlihat oleh orang tua atau anak yang besar sebelum dokter melihat pasien untuk pertama kali dan memastikan kelainan ini. Edema dapat menetap atau bertambah, baik lambat ataupun cepat atau dapat hilang dan timbul kembali. Selama periode ini edema preorbital sering disebabkan oleh cuaca dingin atau alergi, lambat laun edema menjadi menyeluruh, yaitu ke pinggang, perut dan tungkai bawah sehingga penyakit yang sebenarnya menjadi tambah nyata. Pada keadaan lebih lanjut lagi dapat timbul ascites, pembengkakan skrotum atau labia dan bahkan efusi pleura 3,4,5.



Gangguan gastrointestinal sering ditemukan dalam perjalanan penyakit SN, diare sering dialami pasien dalam keadaan edema yang masif dan keadaan ini rupanya tidak berkaitan dengan infeksi, namun diduga penyebabnya adalah edema di mukosa usus. Hepatomegali dapat ditemukan pada pemeriksaan fisik, mungkin disebabkan sintesis albumin yang meningkat, atau edema atau keduanya. Pada beberapa pasien nyeri di perut yang kadang-kadang berat, dapat terjadi. Kemungkinan adanya abdomen akut atau peritonitis harus disingkirkan dengan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan lainnya. Bila komplikasi ini tidak ada kemungkinan penyebab nyeri tidak diketahui namun dapat disebabkan karena edema dinding perut atau pembengkakan hati. Kadang nyeri dirasakan terbatas pada kwadran kanan atas abdomen. Nafsu makan kurang berhubungan erat dengan beratnya edema. Pada keadaan ascites berat dapat terjadi hernia umbilikalis dan prolap ani 3.



Gangguan pernafasan oleh karena adanya distensi abdomen dengan atau tanpa efusi pleura maka pernafasan sering terganggu, bahkan kadang-kadang menjadi gawat 3.



Gangguan fungsi psikososial dapat ditemukan pada pasien SN, yang merupakan stres non spesifik terhadap anak yang sedang berkembang dan keluarganya. Kecemasan dan merasa bersalah merupakan respon emosional , tidak saja pada orang tua pasien, namun juga dialami oleh anak sendiri. Perasaan-perasaan ini memerlukan diskusi penjelasan untuk mengatasinya. Para dokter yang sadar dapat berusaha mendorong meningkatkan perkembangan dan penyesuaian pasien dan keluarganya serta berusaha menolong mencegah dan mengurangi komplikasi 3.



VI Pemeriksaan Laboratorium



Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan antara lain 2:



1. Urinalisa, bila perlu biakan urin


2. Protein urin kuantitatif, dapat berupa urin 24 jam.


3. Pemeriksaan darah:


1. Darah rutin (Hemoglobin, leukosit, hitung jenis, trombosit, hematokrit, LED)


2. Kadar albumin dan kolesterol plasma


3. Kadar ureum, kreatinin serta kliren kreatinin.


4. Kadar komplemen C3, bila dicurigai lupus eritematosus sistemik pemeriksaan ditambah dengan komplemen C4, ANA (anti nuclear antibody).



VII Diagnosis



1. Anamnesis



Keluhan yang sering ditemukan adalah bengkak di kedua kelopak mata, perut, tungkai, atau seluruh tubuh yang dapat disertai penurunan jumlah urin. Keluhan lain juga dapat ditemukan seperti urin bewarna kemerahan 6.



2. Pemeriksaan Fisik.



Pada pemeriksaan fisik, dapat ditemukan edema di kedua kelopak mata, tungkai atau adanya ascites atau edema skrotum atau labia. Kadang-kadang hipertensi ditemukan 6.



3. Pemeriksaan Penunjang



Pada urinalisis ditemukan proteinuria masif (proteinuria 3+ sampai 4+), yang dapat disertai hematuria mikroskopis. Pada pemeriksaan darah didapatkan hipoalbuminemia (<>6.



VIII Komplikasi



Infeksi adalah komplikasi utama pada SN, komplikasi ini akibat dari meningkatnya kerentanan terhadap infeksi bakteri. Penjelasan mengenai ini meliputi penurunan kadar imunoglobulin, cairan edema yang berperan sebagai media biakan, defisiensi protein, penurunan aktivitas bakterisid leukosit , terapi imunosupresif, penurunan perfusi limpa karena hipovolemia, kehilangan faktor komplemen (faktor properdin B) dalam urin yang mengopsonisasi bakteri tertentu. Belum jelas mengapa peritonitis spontan merupakan tipe infeksi yang paling sering ,sepsis, pneumonia, selulitis, dan infeksi saluran kencing dapat ditemukan. Organisme penyebab peritonitis yang paling lazim adalah Streptococcus pneumonia, bakteri gram negatif juga ditemukan. Demam dan temuan-temuan fisik mungkin minimal bila ada terapi kortikosteroid. Oleh karenanya kecurigaan yang tinggi, pemeriksaan segera (termasuk biakan darah dan cairan peritonium) dan memulai terapi awal. Komplikasi lain dapat meliputi kenaikan kecendrungan terjadinya trombosis arteri dan vena (setidak-tidaknya sebagian karena kenaikan kadar faktor koagulasi tertentu dan inhibitor fibrinolisis plasma, dan kenaikan agregasi trombosit), defisisensi faktor koagulasi IX, XI, XII, dan penurunan kadar vitamin D serum 5.




IX Penatalaksanaan



Pada SN pertama kali sebaiknya dirawat di Rumah sakit, dengan tujuan untuk mempercepat pemeriksaan dan evaluasi pengaturan diit, penanggulangan edema, memulai pengobatan steroid, dan edukasi orang tua 2.



1. Dietetik



Pemberian diit tinggi protein tidak diperlukan bahkan sekarang dianggap kontra indikasi karena kana menambah beban glomerulus untuk mengeluarkan sisa metabolisme protein (hiperfiltrasi) dan menyebabkan terjadinya skerosis glomerulus. Jadi cukup diberikan diit protein normal sesuai dengan RDA (Recommended Dailiy Allowances) yaitu 2 gram/kgBB/hari. Diit rendah protein akan menyebabkan mallnutrisi energi protein (MEP) dan hambatan pertumbuhan anak. Diit rendah garam (1-2 gram/hari) hanya diperlukan selama anak menderita edema 2,3,5.



2. Diuretik



Restriksi cairan diperlukan selama ada edema berat. Biasanya diberikan loop diuretik seperti furosemid 1-2mg/kgBB/hari, bila diperlukan dikombinasikan dengan spironolakton (antagonis aldosteron, diuretik hamat kalium) 2-3 mg/kgBB/hari. Pada pemakaian diuretik lebih lama dari 1-2 minggu perlu dilakukan pemantauan elektrolit darah (kalium dan natrium) 2.



Bila pemberian diuretik tidak berhasil mengurangi edema (edema refrakter), biasanya disebabkan oleh hipovolemia atau hipoalbuminemia berat (kadar albumin ≤1gram/dl), dapat diberikan infus albumin 20-25% denagn dosis 1 gram/kgBB selama 4 jam untuk menarik cairan dari jaringan interstisial, dan diakhiri dengan pemberian furosemid intravena 1-2 mg/kgBB. Bila pasien tidak mampu dari segi biaya, dapat diberikan plasma sebanyak 20 ml/kgBB/hari secara perlahan-lahan 10 tetes/menit untuk mencegah terjadinya komplikasi dekompensasi jantung. Bila diperlukan albumin dan plasma dapat diberikan selang sehari untuk memberrikan kesempatan pergeseran dan mencegah overload cairan 2,3,4,5.



3. Antibiotik profilaksis



Di beberapa negara, pasien SN dengan edema dan ascites diberikan antibiotik profilaksis dengan penicilin oral 125-250 mg, 2 kali sehari, sampai edema berkurang. Di Indonesia tidak dianjurkan pemberian antibiotik profilaksis, tetapi perlu dipantau secara berkala, dan bila ditemukan tanda-tanda infeksi segera diberikan antibiotik 2.



4. Pengobatan Dengan Kortikosteroid



a. Pengobatan inisial



Sesuai dengan ISKDC (International Study on Kidney Diseasein Children) pengobatan inisial SN dimulai dengan pemberian prednison dosis penuh (full dose) 60 mg/m2LPB/hari atau 2mg/kgBB/hari (maksimal 80mg/hari), dibagi 3 dosis, untuk menginduksi remisi. Dosis prednison dihitung sesuai dengan berat badan ideal (berat badan terhadap tinggi badan). Prednison dosis penuh inisial diberikan selama 4 minggu. Setelah pemberian steroid 2 minggu pertama, remisi telah terjadi pada 80% kasus, dan remisi mencapai 94% setelah pengobatan steroid 4 minggu. Bila terjadi remisi pada 4 minggu pertama, maka pemberian steroid dilanjutkan dengan 4 minggu kedua dengan dosis 40mg/m2LPB/hari (2/3 dosis awal) secara alternating (selang sehari), 1 kali sehari setelah makan pagi. Bila setelah 4 minggu pengobatan steroid dosis penuh, tidak terjadi remisi, pasien dinyatakan sebagai resisten steroid 2.



b. Pengobatan relaps



Diberikan prednison dosis penuh sampai remisi (maksimal 4 minggu) dilanjutkan dengan prednison dosis alternating selama 4 minggu. Pada SN yang mengalami proteinuria ≥ 2+ kembali tetapi tanpa edema, sebelum dimulai pemberian prednison, terlebih dahulu dicari pemicunya, biasanya infeksi saluran nafas atas. Bila ada infeksi diberikan antibiotik 5-7 hari, dan bila setelah pemberian antibiotik kemudian proteinuria menghilang tidak perlu diberikan pengobatan relaps. Bila sejak awal ditemukan proteinuria ≥ 2+ disertai edema, maka didiagnosis sebagai relaps 2.



Jumlah kejadian relaps dalam 6 bulan pertama pasca pengobatan inisial, sangat penting, karena dapat meramalkan perjalanan penyakit selanjutnya. Berdasarkan relaps yang terjadi dalam 6 bulan pertama pasca pengobatan steroid inisial, pasien dapat dibagi dalam beberapa golongan 2:



§ Tidak ada relaps sama sekali (30%)



§ Relaps jarang : jumlah relaps <>



§ Relaps sering : jumlah relaps ≥ 2 kali (40-50%)



§ Dependen steroid.



c. Pengobatan SN relaps sering atau dependen steroid



Bila pasien telah dinyatakan sebagai SN relaps sering atau dependen steroid, setelah mencapai remisi dengan prednison dosis penuh, diteruskan dengan steroid alternating dengan dosis yang diturunkan perlahan / bertahap 0,2 mg/kgBB sampai dosis terkecil yang tidak menimbulkan relaps yaitu antara 0,1-0,5 mg/kgBB alternating. Dosis ini disebut dosis threshold dan dapat diterukan selama 6-12 bulan, kemudian dicoba dihentikan 2 .



Bila terjadi relaps pada dosis prednison rumat >0,5 mg/kgBB alternating, tetapi <1,0>2.



Bila ditemukan keadaan dibawah ini:



* Terjadi relaps pada dosis rumat > 1 mg/kgBB dosis alternating atau


* Pernah relaps dengan gejala berat, seperti hipovolemia, trombosis, sepsis.



Diberikan CPA dengan dosis 2-3 mg/kgBB/hari, dosis tunggal, selama 8-12 minggu 2.



d. Pengobatan SN resisten steroid



Pengobatan SN resisten steroid (SNRS) sampai sekarang belum memuaskan. Sebelum pengobatan dimulai, pada pasien SNRS dilakukan biopsi ginjal untuk melihat gambaran patologi anatomi ginjal, karena gambaran patologi anatomi tersebut mempengaruhi prognosis. Pengobatan dengan CPA memberikan hasil yang lebih baik bila hasil biopsi ginjal menunjukkan SNKM daripada GSFS. Dapat juga diberikan Siklosporin (CyA), metil prednisolon puls, dan obat imunosupresif lain 2.




X Prognosis



Sebagian besar anak dengan SN yang berespon terhadap steroid akan mengalami kekambuhan berkali-kali sampai penyakitnya menyembuh sendiri secara spontan menjelang usia akhir dekade kedua. Yang penting adalah menunjukkan pada keluarganya bahwa anak tersebut tidak akan menderita sisa disfungsi ginjal, tidak diturunkan, dan anak akan tetap fertil. Untuk memperkecil efek psikologis harus dijelaskan bahwa selama masa remisi anak tersebut normal serta tidak perlu pembatasan diet dan aktifitas 5.



di 16:59


http://yayanakhyar.blogspot.com/2008/01/sindroma-nefrotik.html



























Terapi farmakologis dapat dilakukan dengan pemberian obat-obat antikonvulsan. Obat-obat antikonvulsan yang dapat diberikan adalah :



1. Fenobarbital (Luminal)



Generik: Phenobarbital, tablet 30 mg, 50 mg; cairan injeksi 100 mg/ml.



Merek dagang (brand name): -



Indikasi: epilepsy, semua jenis, kecuali petit mal, status epileptikus.



Kontraindikasi: depresi pernapasan berat, porfiria.



Dosis dan aturan pakai: oral : 60-180 mg (malam). Anak 5-8 mg/kg/hari. Injeksi i.m/i.v. 50-200 mg, ulang setelah 6 jam bila perlu, maksimal 600 mg/hari. Encerkan dalam air 1:10 untuk i.v. status epileptikus (tersedia di ICU): i.v kecepatan tidak lebih dari 100 mg/menit, sampai bangkitan teratasi atau sampai maksimal 15 mg/kg/hari tercapai.






INFEKSI ARBOVIRUS LAINNYA



Di bagian dunia yang lain, arbovirus yang berbeda tetapi masih berhubungan, menyebabkan ensefalitis yang ditularkan secara periodik dari alam kepada manusia.


Penyakit-penyakit tersebut adalah :


# EnsefalEnsefalitis Arbovirus


DEFINISI



Ensefalitis Arbovirus adalah infeksi otak yang berat yang disebabkan oleh salah satu dari beberapa jenis virus.



Infeksi ensefalitis virus yang paling sering terjadi di Amerika dan ditularkan melalui gigitan serangga adalah :


- Ensefalitis Ekuin Barat


- Ensefalitis Ekuin Timur


- Ensefalitis Santa Louis


- Ensefalitis Kalifornia.



Ensefalitis Ekuin Barat terjadi di seluruh Amerika dan menyerang semua umur, tetapi terutama menyerang anak usia dibawah 1 tahun.



Ensefalitis Ekuin Timur terjadi terutama di Amerika bagian timur, terutama menyerang anak-anak yang sangat muda dan diatas usia 55 tahun, dan lebih fatal.



Kedua jenis ensefalitis tersebut, cenderung lebih berat pada anak dibawah 1 tahun, menyebabkan kerusakan saraf atau otak yang menetap.



Wabah ensefalitis Santa Louis pernah terjadi di seluruh Amerika, terutama di Teksas dan beberapa negara bagian barat-tengah. Resiko kematian terbesar ditemukan pada orang yang lebih tua.



Virus kelompok Kalifornia terdiri dari :


- virus Kalifornia (banyak ditemukan di AS barat)


- virus La Crosse (di AS barat-tengah)


- virus Jamestown Canyon (di New York).


Ketiga virus ini terutama menyerang anak-anak.itis Ekuin Venezuela


# Ensefalitis Jepang


# Ensefalitis Musim Panas-Musim Semi Rusia dan


# Ensefalitis lainnya yang dinamai sesuai daerah geografis dimana mereka terjadi.



Satu dari infeksi arbovirus penting yang paling dikenal dan bersejarah adalah demam kuning (yellow fever).


Demam kuning adalah penyakit virus yang disebarkan oleh nyamuk, menyebabkan demam, perdarahan dan sakit kuning. Bisa berakibat fatal.


Penyakit ini banyak ditemukan di Afrika Tengah dan Amerika Tengah dan Selatan.



Demam dengue merupakan infeksi arbovirus yang terjadi di seluruh dunia, baik di daerah tropik maupun subtropik.


Infeksi ini disebarkan oleh nyamuk, menyebabkan demam, pembesaran kelenjar getah bening dan perdarahan.


Bisa terjadi nyeri otot dan persendian yang hebat dan kadang-kadang disebut demam tulang-retak (breakbone fever).


Bisa berakibat fatal. Lebih sering menyerang anak dibawah usia 10 tahun, dan infeksi berulang dengan jenis virus yang berbeda bisa terjadi pada tahun berikutnya.



PENYEBAB



Virus penyebab ensefalitis disebarkan oleh nyamuk jenis tertentu yang ditemukan di daerah geografis tertentu.


Penyakit ini merupakan endemis (terus menerus ada), tetapi wabah terjadi secara periodik bila jumlah binatang yang terinfeksi bertambah.


Pada manusia terjadi secara kebetulan.



GEJALA



Gejala pertama biasanya berupa sakit kepala, perasaan mengantuk dan demam.


Muntah-muntah dan kaku leher agak jarang ditemukan.



Kedutan otot, bingung, kejang dan koma bisa terjadi dengan cepat.


Kadang-kadang lengan dan kaki menjadi lumpuh.



DIAGNOSA



Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala-gejalanya.



Pungsi lumbal dan pemeriksa cairan serebrospinal menunjukkan cairan yang jernih, tekanannya tinggi, banyak mengandung sel darah putih dan protein, kadar gulanya normal.



Untuk memperkuat diagnosis diambil contoh cairan serebrospinal atau contoh darah untuk dibiakkan di laboratorium.


Kadang dilakukan pemeriksaan reaksi rantai polimerase untuk menentukan virus penyebabnya.


Pemeriksaan serologi dilakukan untuk memastikan bahwa penyebabnya adalah virus.



Hasil pemeriksaan EEG adalah abnormal.


Pemeriksaan CT scan dan MRI kepala dilakukan untuk mengetahui adanya perdarahan atau pembengkakan otak.



PENGOBATAN



Untuk mengatasi atau mencegah kejang diberikan obat anti-kejang (misalnya fenitoin).


Kortikosteroid (misalnya prednison) digunakan untuk mengurangi pembengkakan otak dan peradangan.



Jika penderita tampak gelisah, maka diberikan obat penenang.


Untuk demam dan sakit kepala diberikan obat penurun panas dan pereda nyeri.







Informasi yang tersedia di medicastore.com dikumpulkan dari berbagai sumber dan tidak dimaksudkan sebagai pengganti nasihat, saran, konsultasi ataupun kunjungan kepada dokter anda. Bila anda memiliki masalah kesehatan, hubungilah dokter anda.



copyright© www.medicastore.com 2004



http://www.medicastore.com/med/detail_pyk.php?idktg=20&judul=Ensefalitis%20Arbovirus&iddtl=229&UID=20080304162820125.163.203.112



Ensefalitis adalah peradangan akut otak yang disebabkan oleh infeksi virus. Terkadang ensefalitis dapat disebabkan oleh infeksi bakteri, seperti meningitis, atau komplikasi dari penyakit lain seperti rabies (disebabkan oleh virus) atau sifilis (disebabkan oleh bakteri). Penyakit parasit dan protozoa seperti toksoplasmosis, malaria, atau primary amoebic meningoencephalitis, juga dapat menyebabkan ensefalitis pada orang yang sistem kekebalan tubuhnya kurang. Kerusakan otak terjadi karena otak terdorong terhadap tengkorak dan menyebabkan kematian.



http://id.wikipedia.org/wiki/Ensefalitis


emberian Antikonvulsan pada Komplikasi Ensefalitis



(Maria Rosa Irma Budi Cahyani, S.Farm/078115020)



Ensefalitis adalah proses inflamasi akibat infeksi pada susunan saraf pusat yang melibatkan parenkim otak yang dapat bermanifestasi sebagai gangguan neurofisiologis difus dan / atau fokal. Secara klinis ensefalitis dapat dijumpai muncul bersamaan dengan meningitis, disebut meningoensefalitis, dengan tanda dan gejala yang menunjukkan adanya inflamasi pada meninges seperti kaku kuduk, nyeri kepala, atau fotofobia. Ensefalitis biasanya timbul sebagai akibat proses inflamasi akut tapi dapat juga berupa reaksi inflamasi pasca infeksi penyakit lain (postinfeksius ensefalomyelitis), penyakit kronik degeneratif, atau akibat infeksi slow virus. Ensefalitis biasanya disebabkan oleh virus secara langsung melalui 2 jalur yakni hematogen atau secara neuronal ( saraf perifer atau saraf kranialis).



Jenis patogen yang paling sering menyerang adalah arbovirus dan enterovirus. Ensefalitis yang disebabkan oleh arbovirus disebut juga arthropode-borne viral encephalitides. Kelompok virus ini menunjukkan gejala neurologis yang berat dan hampir mirip, disebabkan oleh beberapa jenis arbovirus. Enterovirus termasuk dalam family picornavirus. Family picornavirus antara lain virus coxsackie A dan B, poliovirus, echovirus, enterovirus 68 dan 71, hepatitis A virus.Virus herpes simpleks tipe I (VHS tipe I) merupakan penyebab tersering dari ensefalitis sporadik. Sedangkan VHS tipe II lebih sering dijumpai pada neonatus dengan ensefalitis. VHS merupakan virus DNA yang dapat menyebabkan penyakit lokal maupun sistemik. Pada Anak dan bayi, VHS dapat menyebabkan ensefalitis yang dapat memburuk. Infeksi pada neonatus biasanya didapat selama atau sesaat sebelum bayi dilahirkan, bersumber dari organ genitalia eksterna ibu. Infeksi primer VHS tipe II selama proses persalinan memberikan faktor risiko yang lebih besar terhadap ensefalitis. Infeksi juga dapat terjadi melalui rekurensi, namun baik infeksi primer maupun rekurens keduanya dapat terjadi secara asimtomatik sehingga banyak para ibu yang tidak menyadari hal ini. Human herpesvirus 6 merupakan jenis VHS yang menjadi agen pada exanthema subitum, virus ini dihubungkan dengan terjadinya komplikasi neurologikus yang luas, termasuk pada ensefalitis viral (fokal).



Komplikasi jangka panjang dari ensefalitis berupa sekuele neurologikus yang nampak pada 30 % anak dengan berbagai agen penyebab, usia penderita, gejala klinik, dan penanganan selama perawatan. Perawatan jangka panjang dengan terus mengikuti perkembangan penderita dari dekat merupakan hal yang krusial untuk mendeteksi adanya sekuele secara dini. Walaupun sebagian besar penderita mengalami perubahan serius pada susunan saraf pusat (SSP), komplikasi yang berat tidak selalu terjadi. Komplikasi pada SSP meliputi tuli saraf, kebutaan kortikal, hemiparesis, quadriparesis, hipertonia muskulorum, ataksia, epilepsi, retardasi mental dan motorik, gangguan belajar, hidrosefalus obstruktif, dan atrofi serebral.



Dalam kesempatan ini, sasaran, tujuan dan strategi terapi akan lebih ditekankan pada komplikasi ensefalitis khususnya epilepsi. Pada kasus epilepsi, sasaran dan tujuan terapi yang diberikan bukan membuat anak seperti anak normal lainnya, tetapi mengembangkan sisa kemampuan yang ada pada anak tersebut seoptimal mungkin, sehingga diharapkan anak dapat melakukan aktifitas sehari-hari tanpa bantuan atau dengan sedikit bantuan.Strategi terapi yang diberikan meliputi terapi non farmakologis dan terapi farmakologis.



Terapi non farmakologis dapat dilakukan dengan pemberian nasehat (advis) agar penderita dapat hidup dalam keadaan yang senormal mungkin. Penderita baik yang masih sekolah maupun yang sudah bekerja dinasehati supaya melakukan kegiatannya seperti biasa. Penderita tidak diperkenankan untuk menjadi supir mobil dan hendaknya jangan diberikan surat izin mengemudi, karena hal itu dapat membahayakan dirinya, para penumpangnya, dan para pengguna jalan lain. Penderita tidak dilarang berolahraga, tetapi dianjurkan penderita tetap menjaga diri dan sebaiknya jangan sampai kelelahan. Olah raga berenang pun tidak dilarang asal ada yang menjaganya. Psikoterapi memegang peranan yang sangat penting dalam menambah kepercayaan dan membantu mengurangi/ menghilangkan rasa rendah diri pada penderita. Makanan penderita harus teratur, penderita dijaga agar jangan sampai merasa lapar. Bila penderita merasa lapar hendaknya segera makan untuk mencegah terjadinya hipoglikemia. Jika dewasa kelak penderita epilepsi tidak diperbolehkan minum-minuman beralkohol seperti bir dan lain – lainnya. Tidak ada larangan terhadap rokok atau kopi, asal jangan berlebihan. Buang air besar harus teratur, bila ada obstipasi, sebaiknya penderita diberikan laksansia ringan. Tidur harus teratur, penderita tidak diperbolehkan bergadang. Tidak jarang bangkitan epilepsi timbul setelah penderita kurang tidur. Pada penderita epilepsi pasca meningoensefalitis yang kelak dewasa dan gravidae, lebih mudah terjadi bangkitan-bangkitan epilepsi. Hal ini disebabkan karena wanita yang hamil akan mengalami retensi natrium, hidrasi dan berat badan yang bertambah, yang menimbulkan perubahan-perubahan metabolisme dalam tubuh wanita tersebut, yang pada akhirnya menurunkan ambang myokloni.Efek samping: mengantuk, letargi, depresi mental, ataksia, nistagmus, irritabel dan hiperaktif pada anak, agitasi, resah dan bingung pada usia lanjut, reaksi alergi pada kulit, hipoprotom bunemia, anemia megaloblastik.



Risiko khusus:



- Kehamilan : faktor risiko D



- Menyusui : dapat memasuki air susu ibu (tidak direkomendasikan/dapat terus diberikan dengan perhatian khusus)



- Penderita dengan ganggan fungsi hati dan ginjal perlu mendapatkan perhatian khusus.



2. Valium



Generik: Diazepam, tablet 2 mg, 5 mg.



Merek dagang (brand name):



· Lovium® (Phapros), tablet 2 mg, 5 mg.



· Mentalium® (Soho), tablet 2 mg, 5 mg, 10 mg.



· Paralium® (Prafa), cairan injeksi 5 mg/ml.



· Stesolid® (Dumex Alpharma indonesia), cairan injeksi 10 mg/2ml; enema 5 mg/2,5 ml, 10 mg/2,5 ml; sirup 2 mg/5 ml; tablet 2 mg, 5 mg.



· Trankinon® (Combiphar), tablet 2 mg, 5 mg.



· Valium® (Roche Indonesia), cairan injeksi 5 mg/ml; tablet 2 mg, 5 mg.



· Validex® (Dexa Medica), tablet 2 mg, 5 mg.



· Valisanbe® (Sanbe), tablet 2 mg, 5 mg.



Indikasi: status epileptikus, konvulsi akibat keracunan.



Kontraindikasi: depresi pernapasan berat, insufisiensi pulmoner akut, status fobi/obsesi, pikosis kronik, porfiria.



Dosis dan aturan pakai: injeksi i.v. 0,5 mg/kgbb/x i.v. dan pada anak dengan berat badan 10 kg diberikan sebanyak ½ ampul per kali.



Efek samping: mengantuk, pandangan kabur, bingung, ataksia (pada usia lanjut), amnesia, ketergantungan. Kadang nyeri kepala, vertigo, hipotensi, gangguan salivasi dan saluran cerna, ruam, perubahan libido, retensi urin.



Risiko khusus:



- Kehamilan : faktor risiko D



- Menyusui : dapat memasuki air susu ibu (dapat terus diberikan dengan perhatian khusus)



3. Clonazepam



Generik: -



Merek dagang (brand name):



· Rivotril® (Roche Indonesia), tablet 2 mg.



Indikasi: epilepsi, semua jenis, termasuk petit mal, mioklonus, status epileptikus.



Kontraindikasi: depresi pernapasan berat, insufisiensi pulmoner akut, porfiria.



Dosis dan aturan pakai: dosis awal 1 mg (Usia Lanjut: 500 mcg) malam hari, selama 4 hari. Bertahap dosis dinaikkan dalam 2-4 minggu sampai dosis pemeliharaan: 4-8 mg/hari dalam dosis terbagi. Anak sampai 1 th 250 mcg, dinaikkan bertahap sampai 0,5-1 mg. 1-5 th 250 mcg, dinaikkan bertahap sampai 1-3 mg. 5-12 th 500 mcg, dinaikkan bertahap sampai 3-6 mg.



Efek samping: lelah, mengantuk, pusing, hipotoni otot, gangguan koordinasi gerak, hipersalivasi pada bayi, agresi, iritabel dan perubahan mental, jarang gangguan darah, abnormalitas fungsi hati.



Risiko khusus:



- Kehamilan : faktor risiko D



- Menyusui : dapat memasuki air susu ibu (tidak direkomendasikan)



4. Valproic acid



Generik: -



Merek dagang (brand name):



· Depakote® (Abbott Indonesia), tablet 250 mg.



· Depakene® (Abbott Indonesia), sirup 250 mg/5 ml.



· Leptilan® (Novartis Indonesia), tablet Ss150 mg, 300 mg.



Indikasi: epilepsi, semua jenis epilepsi



Kontraindikasi: penyakit hati aktif, riwayat disfungsi hati berat dalam keluarga, porfiria.



Dosis dan aturan pakai: dosis awal 300-600 mg/hari terbagi dalam 2 dosis, setelah makan dinaikkan 200 mg/hari tiap 3 hari, maksimum 2,5 g/hari, dalam dosis terbagi. Dosis pemeliharaan biasanya 1-2 g/hari(20-30 mg/kg/hari). Anak sampai 20 kg (4 th): dosis awal 20 mg/kg/hari dalam dosis terbagi. Dapat bertahap dinaikkan sampai 40 mg/kg/hari. Lebih dari 20 kg: dosis awal 400 mg/hari biasanya 20-30 mg/kg/hari, maksimal 35 mg/kg/hari.



Efek samping: badan terasa capai, mual, muntah, dan diare, berat badan bertambah, tremor, trombositopenia ringan, dan peningkatan enzim – enzim hepatik. Sewaktu terapi dengan depakene hendaknya dipantau jumlah trombosit dan fungsi hati.



Risiko khusus:



- Kehamilan : faktor risiko D



- Menyusui : dapat memasuki air susu ibu



- Penderita dengan gangguan ginjal perlu mendapatkan perhatian khusus.



Referensi:



Anonim, 2000, Informatorium Obat Nasional Indonesia, 152-155, Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.



Lacy, C.F, dkk, 2006, Drug Information Handbook, Edisi XIV, 370-372, 451-453, 1252-1254, Lexi-Comp Inc., Hudson, Ohio.



Tierney, L.M., McPhee, S.J., dan Papadakis, M.A., 2006, Current Medical Diagnosis & Treatment, Edisi 45, 980-986, Lange Medical Books, McGraw-Hill.


http://yosefw.wordpress.com/2007/12/29/pemberian-antikonvulsan-pada-komplikasi-ensefalitis/



Files of DrsMed – FK UNRI










Kolelitiasis (Gallbladder Stones)


Author : Yayan Akhyar Israr, S.Ked. Fakultas Kedokteran Universitas Riau – RSUD Arifin Achmad Pekanbaru -Provinsi Riau.




TINJAUAN PUSTAKA







2.1 Defenisi




Sinonimnya adalah batu empedu, gallstones, biliary calculus. Istilah kolelitiasis dimaksudkan untuk pembentukan batu di dalam kandung empedu. Batu kandung empedu merupakan gabungan beberapa unsur yang membentuk suatu material mirip batu yang terbentuk di dalam kandung empedu (3, 4)





Gambar 1. Batu dalam kandung empedu (5)







2.2 Klasifikasi




Menurut gambaran makroskopis dan komposisi kimianya, batu empedu di golongkankan atas 3 (tiga) golongan :( 1)




1. Batu kolesterol





Berbentuk oval, multifokal atau mulberry dan mengandung lebih dari 70% kolesterol




2. Batu kalsium bilirubinan (pigmen coklat)





Berwarna coklat atau coklat tua, lunak, mudah dihancurkan dan mengandung kalsium-bilirubinat sebagai komponen utama.




3. Batu pigmen hitam.





Berwarna hitam atau hitam kecoklatan, tidak berbentuk, seperti bubuk dan kaya akan sisa zat hitam yang tak terekstraksi (1).







2.3 Epidemiologi




Insiden kolelitiasis di negara barat adalah 20% dan banyak menyerang orang dewasa dan usia lanjut. Angka kejadian di Indonesia di duga tidak berbeda jauh dengan angka di negara lain di Asia Tenggara dan sejak tahu 1980-an agaknya berkaitan erat dengan cara diagnosis dengan ultrasonografi (3).







2.4 Faktor Resiko




Kolelitiasis dapat terjadi dengan atau tanpa faktor resiko dibawah ini. Namun, semakin banyak faktor resiko yang dimiliki seseorang, semakin besar kemungkinan untuk terjadinya kolelitiasis. Faktor resiko tersebut antara lain : (6,7)




1. Jenis Kelamin. Wanita mempunyai resiko 3 kali lipat untuk terkena kolelitiasis dibandingkan dengan pria. Ini dikarenakan oleh hormon esterogen berpengaruh terhadap peningkatan eskresi kolesterol oleh kandung empedu. Kehamilan, yang menigkatkan kadar esterogen juga meningkatkan resiko terkena kolelitiasis. Penggunaan pil kontrasepsi dan terapi hormon (esterogen) dapat meningkatkan kolesterol dalam kandung empedu dan penurunan aktivitas pengosongan kandung empedu (6).




2. Usia. Resiko untuk terkena kolelitiasis meningkat sejalan dengan bertambahnya usia. Orang dengan usia > 60 tahun lebih cenderung untuk terkena kolelitiasis dibandingkan dengan orang degan usia yang lebih muda (6, 7).




3. Berat badan (BMI). Orang dengan Body Mass Index (BMI) tinggi, mempunyai resiko lebih tinggi untuk terjadi kolelitiasis. Ini karenakan dengan tingginya BMI maka kadar kolesterol dalam kandung empedu pun tinggi, dan juga mengurasi garam empedu serta mengurangi kontraksi/ pengosongan kandung empedu (6, 7).




4. Makanan. Intake rendah klorida, kehilangan berat badan yang cepat (seperti setelah operasi gatrointestinal) mengakibatkan gangguan terhadap unsur kimia dari empedu dan dapat menyebabkan penurunan kontraksi kandung empedu (6).




5. Riwayat keluarga. Orang dengan riwayat keluarga kolelitiasis mempunyai resiko lebih besar dibandingn dengan tanpa riwayat keluarga (6, 7).




6. Aktifitas fisik. Kurangnya aktifitas fisik berhungan dengan peningkatan resiko terjadinya kolelitiasis. Ini mungkin disebabkan oleh kandung empedu lebih sedikit berkontraksi (7).




7. Penyakit usus halus. Penyakit yang dilaporkan berhubungan dengan kolelitiasis adalah crohn disease, diabetes, anemia sel sabit, trauma, dan ileus paralitik (7).




8. Nutrisi intravena jangka lama. Nutrisi intravena jangka lama mengakibatkan kandung empedu tidak terstimulasi untuk berkontraksi, karena tidak ada makanan/ nutrisi yang melewati intestinal. Sehingga resiko untuk terbentuknya batu menjadi meningkat dalam kandung empedu (7).







2.5 Patofisiologi




Batu empedu yang ditemukan pada kandung empedu di klasifikasikan berdasarkan bahan pembentuknya sebagai batu kolesterol, batu pigment dan batu campuran. Lebih dari 90% batu empedu adalah kolesterol (batu yang mengan dung > 50% kolesterol) atau batu campuran (batu yang mengandung 20-50% kolesterol). Angka 10% sisanya adalah batu jenis pigmen, yang mana mengandung <20% style=”"> adalah keadaan statis kandung empedu, pengosongan kandung empedu yang tidak sempurna dan konsentrasi kalsium dalam kandung empedu (A family psichian).




Batu kandung empedu merupakan gabungan material mirip batu yang terbentuk di dalam kandung empedu. Pada keadaan normal, asam empedu, lesitin dan fosfolipid membantu dalam menjaga solubilitas empedu. Bila empedu menjadi bersaturasi tinggi (supersaturated) oleh substansi berpengaruh (kolesterol, kalsium, bilirubin), akan berkristalisasi dan membentuk nidus untuk pembentukan batu. Kristal yang yang terbentuk terbak dalam kandung empedu, kemuadian lama-kelamaan kristal tersubut bertambah ukuran,beragregasi, melebur dan membetuk batu. Faktor motilitas kandung empedu, biliary stasis, dan kandungan empedu merupakan predisposisi pembentukan batu empedu empedu (4, 8).




a. Batu kolesterol




Untuk terbentuknya batu kolesterol diperlukan 3 faktor utama :




- Supersaturasi kolesterol




- Hipomotilitas kandung empedu




- Nukleasi/ pembentukan nidus cepat.




Khusus mengenai nukleasi cepat, sekarang telah terbukti bahwa empedu pasien dengankolelitiasis mempunyai zat yang mempercepat waktu nukleasi kolesterol (promotor) sedangkan empedu orang normal mengandung zat yang menghalangi terjadinya nukleasi.




b. Batu kalsium bilirunat (pigmen cokelat)




Batu pigmen cokelat terbentuk akibat adanya faktor stasis dan infeksi saluran empedu. Stasis dapat disebabkan oleh adanya disfungsi sfingter Oddi, striktur, operasi bilier, dan infeksi parasit. Bila terjadi infeksi saluran empedu, khususnya E. Coli, kadar enzim B-glukoronidase yang berasal dari bakteri akan dihidrolisasi menjadi bilirubin bebas dan asam glukoronat. Kalsium mengikat bilirubin menjadi kalsium bilirubinat yang tidak larut. Dari penelitian yang dilakukan didapatkan adanya hubungan erat antara infeksi bakteri dan terbentuknya batu pigmen cokelat.umumnya batu pigmen cokelat ini terbentuk di saluran empedu dalam empedu yang terinfeksi.




c. Batu pigmen hitam




Batu pigmen hitam adalah tipe batu yang banyak ditemukan pada pasien dengan hemolisis kronik atau sirosis hati. Batu pigmen hitam ini terutama terdiri dari derivat polymerized bilirubin. Potogenesis terbentuknya batu ini belum jelas. Umumnya batu pigmen hitam terbentuk dalam kandung empedu dengan empedu yang steril (1,9).




Batu kandung empedu dapat berpindah ke dalam duktus koledokus melalui duktus sistikus. Didalam perjalanannya melalui duktus sistikus, batu tersebut dapat menimbulkan sumbatan aliran empedu secara parsial ataupun komplit sehingga menimbulkan gejala kolik bilier. Pasase berulang batu empedu melalui duktus sistikus yang sempit dapat menimbulkan iritasi dan perlukaan sehingga dapat menimbulkan peradangan dinding duktus dan striktur. Apabila batu berhenti di dalam duktus sistikus dikarenakan diameter batu yang terlalu besar atau pun karena adanya striktur, batu akan tetap berada di sana sebagai batu duktus sistikus (3).




Kolelitiasis asimtomatis biasanya diketahui secra kebetulan, sewaktu pemeriksaan ultrasonografi, foto polos abdomen, atau perabaan saat operasi. Pada pemeriksaan fisik atau laboratorium biasanya tidak ditemukan kelainan (3).







2.6 Komplikasi




Komplikasi yang dapat terjadi pada penderita kolelitiasis : (3)




1. Asimtomatik


2. Obstruksi duktus sistikus


3. Kolik bilier


4. Kolesistitis akut





- Empiema




- Perikolesistitis




- Perforasi




5. Kolesistitis kronis





- Hidrop kandung empedu




- Empiema kandung empedu




- Fistel kolesistoenterik




- Ileus batu empedu (gallstone ileus)










Kolesistokinin yang disekresi oleh duodenum karena adanya makanan mengakibatkan/ menghasilkan kontraksi kandung empedu, sehingga batu yang tadi ada dalam kandung empedu terdorong dan dapat menutupi duktus sistikus, batu dapat menetap ataupun dapat terlepas lagi. Apabila batu menutupi duktus sitikus secara menetap maka mungkin akan dapat terjadi mukokel, bila terjadi infeksi maka mukokel dapat menjadi suatu empiema, biasanya kandung empedu dikelilingi dan ditutupi oleh alat-alat perut (kolon, omentum), dan dapat juga membentuk suatu fistel kolesistoduodenal. Penyumbatan duktus sistikus dapat juga berakibat terjadinya kolesistitis akut yang dapat sembuh atau dapat mengakibatkan nekrosis sebagian dinding (dapat ditutupi alat sekiatrnya) dan dapat membentuk suatu fistel kolesistoduodenal ataupun dapat terjadi perforasi kandung empedu yang berakibat terjadinya peritonitis generalisata (3).




Batu kandung empedu dapat maju masuk ke dalam duktus sistikus pada saat kontraksi dari kandung empedu. Batu ini dapat terus maju sampai duktus koledokus kemudian menetap asimtomatis atau kadang dapat menyebabkan kolik. Batu yang menyumbat di duktus koledokus juga berakibat terjadinya ikterus obstruktif, kolangitis, kolangiolitis, dan pankretitis (3).




Batu kandung empedu dapat lolos ke dalam saluran cerna melalui terbentuknya fistel kolesitoduodenal. Apabila batu empedu cukup besar dapat menyumbat pad bagian tersempit saluran cerna (ileum terminal) dan menimbulkan ileus obstruksi (3).







2.7 Diagnosis




2.7.1 Anamnesis




Setengah sampai duapertiga penderita kolelitiasis adalah asintomatis. Keluhan yang mungkin timbul adalah dispepdia yang kadang disertai intoleran terhadap makanan berlemak. Pada yang simtomatis, keluhan utama berupa nyeri di daerah epigastrium, kuadran kanan atas atau perikomdrium. Rasa nyeri lainnya adalah kolik bilier yang mungkin berlangsung lebih dari 15 menit, dan kadang baru menghilang beberapa jam kemudian. Timbulnya nyeri kebanyakan perlahan-lahan tetapi pada 30% kasus timbul tiba-tiba (3).




Penyebaran nyeri pada punggung bagian tengah, skapula, atau ke puncak bahu, disertai mual dan muntah. Lebih kurang seperempat penderita melaporkan bahwa nyeri berkurang setelah menggunakan antasida. Kalau terjadi kolelitiasis, keluhan nyeri menetap dan bertambah pada waktu menarik nafas dalam (3).







2.7.2 Pemeriksaan Fisik




1. Batu kandung empedu




Apabila ditemukan kelainan, biasanya berhubungan dengan komplikasi, seperti kolesistitis akut dengan peritonitis lokal atau umum, hidrop kandung empedu, empiema kandung empedu, atau pangkretitis. Pada pemeriksaan ditemukan nyeri tekan dengan punktum maksimum didaerah letak anatomis kandung empedu. Tanda Murphy positif apabila nyeri tekan bertambah sewaktu penderita menarik nafas panjang karena kandung empedu yang meradang tersentuh ujung jari tangan pemeriksa dan pasien berhenti menarik nafas (3).




2. Batu saluran empedu




Baru saluran empedu tidak menimbulkan gejala dalam fase tenang. Kadang teraba hatidan sklera ikterik. Perlu diktahui bahwa bila kadar bilirubin darah kurang dari 3 mg/dl, gejal ikterik tidak jelas. Apabila sumbatan saluran empedu bertambah berat, akan timbul ikterus klinis (3).







2.7.3 Pemeriksaan Penunjang




1. Pemeriksaan laboratorium




Batu kandung empedu yang asimtomatik umumnya tidak menunjukkan kelainan pada pemeriksaan laboratorium. Apabila terjadi peradangan akut, dapat terjadi leukositosis. Apabila terjadi sindroma mirizzi, akan ditemukan kenaikan ringan bilirubin serum akibat penekanan duktus koledukus oleh batu. Kadar bilirubin serum yang tinggi mungkin disebabkan oleh batu di dalam duktus koledukus. Kadar fosfatase alkali serum dan mungkin juga kadar amilase serum biasanya meningkat sedang setiap setiap kali terjadi serangan akut (3).




2. Pemeriksaan radiologis




- Foto polos Abdomen




Foto polos abdomen biasanya tidak memberikan gambaran yang khas karena hanya sekitar 10-15% batu kandung empedu yang bersifat radioopak. Kadang kandung empedu yang mengandung cairan empedu berkadar kalsium tinggi dapat dilihat dengan foto polos. Pada peradangan akut dengan kandung empedu yang membesar atau hidrops, kandung empedu kadang terlihat sebagai massa jaringan lunak di kuadran kanan atas yang menekan gambaran udara dalam usus besar, di fleksura hepatika (3).




Gambar 2. Foto rongent pada kolelitiasis (10)







- Ultrasonografi (USG)




Ultrasonografi mempunyai derajat spesifisitas dan sensitifitas yang tinggi untuk mendeteksi batu kandung empedu dan pelebaran saluran empedu intrahepatik maupun ekstra hepatik. Dengan USG juga dapat dilihat dinding kandung empedu yang menebal karena fibrosis atau udem yang diakibatkan oleh peradangan maupun sebab lain. Batu yang terdapat pada duktus koledukus distal kadang sulit dideteksi karena terhalang oleh udara di dalam usus. Dengan USG punktum maksimum rasa nyeri pada batu kandung empedu yang ganggren lebih jelas daripada dengan palpasi biasa (1).




- Kolesistografi




Untuk penderita tertentu, kolesistografi dengan kontras cukup baik karena relatif murah, sederhana, dan cukup akurat untuk melihat batu radiolusen sehingga dapat dihitung jumlah dan ukuran batu. Kolesistografi oral akan gagal pada keadaan ileus paralitik, muntah, kadar bilirubun serum diatas 2 mg/dl, okstruksi pilorus, dan hepatitis karena pada keadaan-keadaan tersebut kontras tidak dapat mencapai hati. Pemeriksaan kolesitografi oral lebih bermakna pada penilaian fungsi kandung empedu (3).







2.8 Penatalaksanaan




Jika tidak ditemukan gejala, maka tidak perlu dilakukan pengobatan. Nyeri yang hilang-timbul bisa dihindari atau dikurangi dengan menghindari atau mengurangi makanan berlemak. Pilihan penatalaksanaak antara lain : (2)




1. Kolesistektomi terbuka




Operasi ini merupakan standar terbaik untuk penanganan pasien denga kolelitiasis simtomatik. Komplikasi yang paling bermakna yang dapat terjadi adalah cedera duktus biliaris yang terjadi pada 0,2% pasien. Angka mortalitas yang dilaporkan untuk prosedur ini kurang dari 0,5%. Indikasi yang paling umum untuk kolesistektomi adalah kolik biliaris rekuren, diikuti oleh kolesistitis akut (2).




2. Kolesistektomi laparaskopi




Indikasi awal hanya pasien dengan kolelitiasis simtomatik tanpa adanya kolesistitis akut. Karena semakin bertambahnya pengalaman, banyak ahli bedah mulai melakukan prosedur ini pada pasien dengan kolesistitis akut dan pasien dengan batu duktus koledokus. Secara teoritis keuntungan tindakan ini dibandingkan prosedur konvensional adalah dapat mengurangi perawatan di rumah sakit dan biaya yang dikeluarkan, pasien dapat cepat kembali bekerja, nyeri menurun dan perbaikan kosmetik. Masalah yang belum terpecahkan adalah kemanan dari prosedur ini, berhubungan dengan insiden komplikasi 6r seperti cedera duktus biliaris yang mungkin dapat terjadi lebih sering selama kolesistektomi laparaskopi (2).




3. Disolusi medis




Masalah umum yang mengganggu semua zat yang pernah digunakan adalah angka kekambuhan yang tinggi dan biaya yang dikeluarkan. Zat disolusi hanya memperlihatkan manfaatnya untuk batu empedu jenis kolesterol. Penelitian prospektif acak dari asam xenodeoksikolat telah mengindikasikan bahwa disolusi dan hilangnnya batu secara lengkap terjadi sekitar 15%. Jika obat ini dihentikan, kekambuhan batu tejadi pada 50% pasien (2).




4. Disolusi kontak




Meskipun pengalaman masih terbatas, infus pelarut kolesterol yang poten (metil-ter-butil-eter (MTBE)) ke dalam kandung empedu melalui kateter yang diletakkan per kutan telah terlihat efektif dalam melarutkan batu empedu pada pasien-pasien tertentu. Prosedur ini invasif dan kerugian utamanya adalah angka kekambuhan yang tinggi (50% dalam 5 tahun) (2).




5. Litotripsi Gelombang Elektrosyok (ESWL)




Sangat populer digunakan beberapa tahun yang lalu, analisis biaya-manfaat pad saat ini memperlihatkan bahwa prosedur ini hanya terbatas pada pasien yang telah benar-benar dipertimbangkan untuk menjalani terapi ini (2).




6. Kolesistotomi





Kolesistotomi yang dapat dilakukan dengan anestesia lokal bahkan di samping tempat tidur pasien terus berlanjut sebagai prosedur yang bermanfaat, terutama untuk pasien yang sakitnya kritis (2).






DAFTAR PUSTAKA










1. Lesmana L. Batu empedu. Dalam : Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid I. Edisi 3. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2000. 380-384.


2. Schwartz S, Shires G, Spencer F. Prinsip-prinsip Ilmu Bedah (Principles of Surgery). Edisi 6. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2000. 459-464.


3. Sjamsuhidajat R, de Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2005. 570-579.


4. Maryan Lee F, Chiang W. Cholelithiasis. Avaliable from : http://www.emedicine.com/emerg/Gastrointestinal/topic97.htm. Last update 12 Juni 2006 [diakses pada tanggal 22 Januari 2008].


5. Webmaster. Cholelithiasis. Avaliable from : http://www.Medlineplus.com. Last update 8 Juli 2007 [diakses pada tanggal 28 Januari 2008].


6. Clinic Staff. Gallstones. Avaliable from : http://www.6clinic.com/health/digestive-system/DG99999.htm. Last update 25 Juli 2007 [diakses pada tanggal 22 Januari 2008].


7. Cholelithiasis. Avaliable from : http://www.7.com/HealthManagement/ManagingYourHealth/HealthReference/Diseases/InDepth/?chunkiid=103348.htm. Last update April 2007 [diakses pada tanggal 28 Januari 2008].


8. Heuman D, Mihas A. Cholelithiasis. Avaliable from : http://www.emedicine.com/emerg/Gastrointestinal/topic863.htm. Last update 12 Juni 2006 [diakses pada tanggal 22 Januari 2008].


9. Webmaster. Cholelithiasis. Avaliable from : http://www.merck.com/mmpe/sec03/ch030/ch030a.html. Last update April 2007 [diakses pada tanggal 28 Januari 2008].


10. Yekeler E, Akyol Y. Cholelithiasis. Dalam : New England Journal of Medicine. Avaliable from : http://content.nejm.org/cgi/content/full/351/22/2318#F1. Last update 25 November 2005 [diakses pada tanggal 22 Januari 2008]


11. Ahmed A, Cheung R. Management of gallstones and their complication. American Family Physician. Avaliable from : http://www.aafp.org/afp/20000315/contents.html. Last update 15 Maret 2000 [diakses pada tanggal 13 Februari 2008].