Sunday, May 22, 2011

Sindrom Down (Muka Tampak Idiot)

Sindrrom Down (SD) merupakan kelainan genetis yang paling sering terjadi. Data menunjukanan satu kasus diantara 1000 penduduk mengalami SD. Jika penduduk Indonesia sekarang 220 juta, berarti sekitar 220 ribu penduduk mengalami SD.


Sindrom ini pertama kali dikemukakan oleh langdon Down pada tahun 1866, namun baru pada 1959 ditemukan dan




Ini merupakan gambar penderita SD

Ciri-ciri Penderita SD



dibuktikan dengan ditemukannya, kelainan pada kromosom. Secara statistik, resiko kelahiran anak SD erkaitan usia ibu saat melahirkan, semakin besar memiliki anak dengan SD. Namun, usia ibu hanyalah sebagai pencetus, bukan sebagai faktor utama.


Apa penyebab?


Penderita SD mengalami kelebihan pada kromosom nomor 21, akibat terjadinya “kegagalan” saat pembelahan kromosom.


Setiap wanita yang baru lahir sudah memiliki ovarium yang didalamnya terdapat calon-calon sel telur (ovum). Ovum sudah siap membentuk ovum matang, dan harus melewati satu proses yang disebut sebagai diplonema, kromosom yang berpasangan (homolog) menjelang matang akan akan memisahkan diri dari pasangannya. Misalnya, telur itu matang pada usia 12 tahun maka masa berpasangnya adalah selama 12 tahu.


Tetapi jika matang dan keluar pada usia 40, maka masa berpasangannya adalah selama itu, sehingga sering dikatakan seakan ovum lupa harus berpisah dengan pasangannya. Makin lama dia berpasangan, makin besar kemungkinan dia “lupa” harus berpisah dengan pasanganya. Selain itu, dalam proses penuaan, terjadi gangguan pada kromosom, sehingga mencetuskan SD.


Bagai mana peran ayah? Sekitar 20 – 30 % Kromosom pada anak SD dapat berasal dari ayah usia diatas 40, tetapi hal ini masih perlu penelitian lebih lanjut. Jadi, sebaiknya jangan apriori bahwa penyebab SD berasal dari ibu, karenanya sering dianjurkan jika ibu sudah diatas 35 th, ayah diatas 40 th, dan sudah punya anak, sebaiknya hindari punya anak lagi. Pada keadaan seperti ini, resiko munculnya kelainan sudah semakin besar.


Rentan Infeksi


Anak-anak yang terlahir SD secara fisik memiliki karakteristik mirip; muka lebar, hidung cenderung datar, mata letaknya berjauhan serta sipit miring keatas dan kesamping, seperti orang mongolia.


Menurut literatur, anak dengan kelainan ini sering mengalami penyakit-penyakit :


- Infeksi, terutama saluran pernapasan.

- Angka kejadian leukemia tinggi.

- Kelainan jantung bawaan.

- Pertumbuhan pada masa bayi kadang-kadang baik, namun kemudian menjadi lambat.


Biasanya mereka hanya berbicara dengan kalimat sederhana dan hampir selalu memperlihatkan mimik wajah gembira. Sehingga dapat dikatakan wajah anak dengan SD sangat khas.


Daya tahan tubuh penderita SD relatif kurang oleh karena itu sebagian mereka meninggal pada usia muda. Di Indonesia jarang ada yang mencapai usia 40, kebanyakan mencapai usia 20-an. Penyebabnya adalah akibat trisomi 21, yang salah satunya berpengaruh salah satunya pada sistem syaraf dan sistem kekebalan tubuh. Imunitas mereka rendah, sehingga rentan terhadap penyakit, terutama infeksi. Akibat kecerdasan yang rendah, kesadaran bahwa dia sedang sakit tidak terlalu terpantau, tahu-tahu penyakit sudah berat. Memang kebanyakan SD meninggal akibat penyakit infeksi.


Bukan kutukan


Kebanyakan masyarakat masih menganggap SD sebagai kutukan, akibatnya mereka seringkali ‘menyembunyikan’ dan menutupi masalah ini. Hal ini dikarenakan orang tua anak SD tidak memperoleh kesempatan untuk bersosialisasi dengan lingkungannya.


Padahal, anak SD mampu hidup mandiri, pekerja, serta memiliki bakat dan potensi yang dapat dikembangkan. Caranya dengan memberikan mereka pendidikan, pelatihan, serta terapi secara khusus. Perhatian khusus yang harus diberikan pada anak-anak SD adalah stimulasi dini, yakni semacam fisioterapi yang dilakukan secara teratur. Penelitian menunjukan, dengan penanganan dini mereka dapat membaca, menulis, bahkan bisa mengikuti pendidikan disekolah biasa dan memperoleh pekerjaan.


Anggapan bahwa tiada harapan bagi anak-anak dengan SD sedikit demi sedikit terhapuskan. Mereka dapat bekerja, asalkan pekerjaan tersebut tidak memiliki resiko tinggi. Misalnya dibidang adminitrasi, pekerja pabrik. Dengan stimulasi sedini mungkin, harapan bagi masa depan anak SD mungkin dapat lebih baik.


Menegakkan Diagnosa


Bayi SD terkadang tidak dikenali, namun bagi dokter anak atau dokter yang menolong kelahiran, terkadang cepat mencurigai adanya SD. Tetapi untuk lebih memastikan, disarankan untuk melakukan penelitian kromosom. sebab ada keadaan yang secara klinik mirip dengan SD, misalnya hipotiroidsme, yakni keadaan dimana kelenjar gondok kurang berfungsi.


Jika ada kecurigaan adanya SD, pemeriksaan kromosom dapat dilakukan sedini mungkin selama memangkinkan, misalnya pada usia satu atau dua hari. pemeriksaan dilakukan dengan mengambil sample darah sebanyak 2 cc. Hasil pemeriksaan dapat diambil seminggu kemudian. pemeriksaan dapat dilakukan dilaboratorium yang ada. Selain itu, ada pemeriksaan penunjang yang disebut dengan pemeriksaan Dermatoglifik (gambar sidik jari). Namun ini bukan pemeriksaan utama, selain itu bagi bayi belum memungkinkan, karena sidik jari masih terlalu halus (belum jelas). Sehingga Dermatoglifik baru dapat dilakukan pada bayi usia diatas tiga bulan. Ada tiga macam metode : Indeks walker, Upsalla dan Indiana


Empat macam SD


Pemeriksaan kromosom dilakukan lewat media darah. Bisa terjadi, seorang SD kromosomnya tampak normal, tetapi sebenarnya menderita SD kategori tertier, artinya sebagian kromosom Trisomi 21, sebagian normal, sering disebut sebagai SD mozaik.


Jika pemeriksaan kromosom normal, namun hasil pemeriksaan dermatoglifik positif, dianjurkan periksa kromosom ulang setelah beberapa bulan. Atau periksa ulang tetapi mengambil jaringan yang berbeda, misalnya jaringan subkutis (kulit).


Secara teoritis, SD mozaik gambarnya sama dengan orang normal, namun begitu diperiksa ada mozaik, atau sebaliknya, tampak sangat SD namun pemeriksaan menunjukan mozaik.


Berat ringan SD dibedakan menjadi ; primer, sekuder, tertier dan kuatener. SD primer dan sekuder hampir sama beratnya, sementara yang tertier bisa sama beratnya dengan primer, namun bisa pula lebih ringan.


Pada Sd sekunder, jika dilakukan pemeriksaan kromosom, selintas jumlah kromosom ada 46 (normal). Namun jika lebih diteliti lagi, terdapat 21 kromosom 21. Salah satu kromosom melekat pada kromosom yang lain.


Pencegahan ?


- Secara spesifik tidak ada, namun secara umum disarankan ibu untuk menghindari hamil pada usia yang lanjut. Masa reproduksi yang paling sehat adalah antara 25 - 30 tahun.

- Jika ingin hamil, upayakan calon ayah dan ibu selam 3 bulan sebelumnya menghindari pemeriksaan rontgen didaerah perut dan panggul secara intensif. Sebab kemungkinan munculnya kelainan kromosom semakin bertambah.


Namun bagi yang memang terlambat menikah dan belum punya anak sebaiknya lakukan pemeriksaan antenatal. Atau sewaktu hamil, pada usia kehamilan 12 - 16 minggu dapat melakukan pemeriksaan cairan janin atau yang biasa disebut amniosintesis. Kosekkuensinya memang sulit, jika ditemukan adanya indikasi kelainan.